MENGENANG RM. LUKAS LEO LAGHE, PR – Bagian Pertama, Oleh : Stefanus Wolo Itu

Hari Rabu 30 Juli jam 14.05 waktu Swiss. Vikjen Keuskupan Agung Ende, RD. Frederikus Dhedhu menulis berita duka di WAG Klerus KAE. “Mat malam para Romo dan Pater. Kami sampaikan berita duka. Telah meninggal dunia dengan tenang Rm. Lukas Leo di rumah Keuskupan pada jam 19.30. Kita doakan keselamatan jiwanya”.

Saya kebetulan sedang di kantor. Sendirian. Saya langsung larut dalam kesedihan. Saya tertunduk seketika. Hening, lalu melantunkan doa singkat. Saya berterima kasih atas semua cinta, pelayanan, nasihat dan  peneguhan. Dan terutama keteladanan hidup.

Saya teringat ketika membawakan kotbah pancawindu Rm. Lukas di gereja Mautapaga Ende Flores, 16 Juni 2010. Ya, lima belas tahun lalu. Saya ungkapkan begini: “Bagi saya pribadi, ketika berdiri atau duduk di depan Rm. Lukas, ibarat berada di depan salah satu cermin besar. Darinya kita berkaca dan menata diri”.

Perjumpaan terakhir saya dengan Rm. Lukas tahun 2024 lalu. Hari Sabtu tanggal 17 Agustus pagi saya ke Ndona dan mengunjunginya di kamar. Ia sedang berbaring. Tapi wajahnya ceria. Dahinya kilat. Bagi saya, salah satu kekuatan karisma Rm. Lukas ada di dahi dan isi kepalanya. Dahi bercahaya adalah cermin dari jiwa yang tenang.

Ia menyapa saya dengan senyum: “Rm. Stef selamat datang. Terima kasih jauh-jauh dari Swiss datang kunjung saya. Saya tidak bisa kemana-mana lagi. Saya makan dan minum di kamar”. Kami ngobrol santai. Themanya bervariasi. Tentang karya pelayanan saya di Swiss. Tentang kapela di Nagesapadhi. Dia kaget karena Rm. Yosef Liwu dan umat memberi nama pelindung Santo Lukas. Juga tentang gua Maria yang sedang dibangun. “Romo Stef, ma’e ghewo atau jangan lupa”. Pinta beliau.

Saya menghadiahkan buku. “Ame-Kae buku ini tentang Uskup baru kita. Besok akan diluncurkan di Aula STIPAR Ende. Para penulis datang dari pelbagai belahan nusantara dan dunia. Benar bahwa Ame-Kae di kamar saja. Tapi bila baca buku ini, Ame-Kae akan merasa sedang di luar kamar dan mengelilingi dunia”.Itulah pertemuan terakhir kami.

Di tengah kesedihan dan kesendirian saya minta maaf pada Rm. Lukas. “Ame-Kae mae ngasi. Ngao walo talo. Ngao bhoko dia Swiss. Ngao tuga sembayang ne’e misa pu’u dia tanah misi. Wula Januari ngao walo pasa lilin ena rate. Artinya bapa tua jangan marah. Saya tidak bisa pulang. Saya di Swiss. Saya hanya berdoa dan rayakan ekaristi dari tanah misi. Bulan Januari 2026 saya akan pulang dan pasang lilin di kuburmu dan berdoa”.

Sejak lama saya menyapa Rm. Lukas “Ame-Kae”. Terjemahannya “Ame” artinya bapak. “Kae artinya kakak. Ame-Kae arti lurusnya bapak-kakak. Orang yang berperan sebagai bapak dan kakak. Amekae bagi orang-orang Ngada dan Nagekeo merupakan sapaan untuk pria yang jauh lebih tua atau sudah berusia tua.

Saya menyapa Ame-Kae untuk Rm. Lukas. Dari sisi usia, jabatan dan keteladanan, beliau adalah ame atau bapak. Rm. Lukas seorang bapak untuk kami anak-anak. Beliau kae untuk kami azi-azi. Dia kakak, senior dalam imamat dan pengalaman.

Sejak di bangku SMPK Kotagoa tahun 1981, saya sudah mendengar nama Rm. Lukas Leo. Satu kesempatan saya bersama kakak sulung Emanuel Buku Due berjalan kaki melintasi kampung Boagu. Kakak Eman berceritera: “Ini kampung teman kelas saya Rm. Lukas Leo. Kami sama-sama di SDK Boawae kelas IV -VI. Selanjutnya kami ke Seminari Mataloko. Saya keluar kelas II SMP. Tapi Lukas Leo jalan terus. Dia orang baik, sopan, pintar dan pantas jadi imam”.

Rm. Lukas Leo adalah putera dari bapak Philipus Pelo Dede dan Mama Theresia Weli Wea. Ia lahir di Boagu-Nagesapadhi tanggal 19 September 1941. Lukas merupakan anak ketujuh dari delapan bersaudara. Boagu letaknya tak jauh dari Natanage-Boawae. Berjarak sekitar satu kilometer ke arah barat. Saat sekolah di Boawae tahun 1981-1987 saya sering berjalan kaki melewati Boagu.

Saya tak tahu persis asal usul nama Boagu. Kami orang Solo, Rowa, Sarasedu selalu menyebutnya “Wolo Guru”. Saya ingat di sekitar Boagu banyak bertumbuh “Gu atau Bambu Aur”. Rumpun-rumpun bambu Aur mengelilingi Boagu dan sekitarnya. Kami sering mencari kayu api dari aur kering di sekitar Lowo Doga dan perkebunan orang-orang Boagu, Wolomako, Natawaru, Boawolo, Tongatey, Pedha dan Toeteda.

Saya juga mendengar ceritera tentang Boagu dan kampung-kampung sekitar dari sang ayah. Kebetulan ayah seorang “Mado Zala atau Mandor Jalan”. Wilayah kerjanya dari Mataloko hingga Raja. Hampir setiap minggu ia melewati kampung Nagemi, Rudawolo, Toeteda, Pedha, Boagu,  Boawae, Tibakisa, Pagonage, Regal, Talomema, Wolowea hingga Raja.

Sepanjang perjalanan ayah bertemu dan mengenal banyak orang. Bapak saya sangat terkesan dengan orang-orang Boagu dan sekitarnya. Kata ayah: “Ada banyak orang terdidik dari sana. Beberapa orang menjadi guru. Bapak saya menyebut sejumlah nama besar. Para guru melahirkan anak cucu terdidik. Mereka kemudian bekerja di pelbagai bidang kehidupan. Boawae merupakan salah satu pusat pendidikan di Flores. Warga kampung-kampung sekitar memanfaatkan peluang  kedekatan itu. Pendidikan membuat mereka berubah dan memiliki visi untuk masa depan.

Rm. Lukas Leo menjadi salah satu nama yang membanggakan orang-orang Boagu. Bahkan orang-orang Nagesapadhi. Rm. Lukas menjadi bagian hidup dan milik mereka. Ia menempuh pendidikan dasar di SR Boawae tahun 1948-1954. Ia masuk SMP-SMA Seminari Mataloko tahun 1955-1963. Dari Mataloko Lukas lanjut ke Seminari Tinggi Interdiosesan Santo Petrus Ritapiret 1964-1970. Ia menerima tahbisan diakon tanggal 14 Maret 1970 di Ritapiret. Tanggal 16 Juni 1970 ia menerima tahbisan imam di Boawae.

Rm. Lukas Leo adalah imam ketiga paroki Boawae setelah P. Markus Moa dari Tibakisa dan P. Daniel Siga dari Wolobidi. Tapi dia imam projo pertama dari Boawae dan Nagekeo. Teman-teman kelasnya adalah Rm. Philipus Loi Riwu, Rm. Dominikus Balo dan Rm. Ignasius Sega. Sementara para senior mereka adalah Rm. Lukas Lusi, Rm. Ferdinandus da Cunha, Rm. Pit Sepe, Rm. Isak Doera, Rm. Marsel Lilo Babajara, Rm. Pede da Lopez, Rm. Jan Mbenu, Rm. Bosco Terwinju, Rm. Yosef Lalu Nono dan Rm. Lukas Nong Baba.

Saya mulai mengenal dekat Rm. Lukas Leo bulan Juni tahun 1997. Saat itu saya menjalani praktek diakonat di paroki Jopu Ende. Beliau menjabat Vikep Ende hingga tahun 2001. Sejak pertemuan perdana kami mulai dekat. Kami sering bertemu, berceritera dan berbicara bahasa Boawae.

Bulan April 2010 Rm. Lukas tiba-tiba mendatangi saya di Wolotopo. “Rm. Stef, saya ada perlu. Tolong kotbah saat perayaan syukuran pancawindu imamat saya di Mautapaga tanggal 16 Juni dan di Boawae akhir Juni”. Saya kaget dan berkeberatan. Jarak usia tahbisan kami 27 tahun. Usia imamat saya barusan 13 tahun. Ini angka celaka. Saya merasa tidak layak berkotbah untuk yubilaris pancawindu. Tapi beliau punya cara meyakinkan sehingga saya terima. Sejak itu kami makin dekat dan menjadi ngobrol yang asyik.

Bersambung!

Kirchgasse 4, 5074 Eiken AG

Jumat Malam, 1 Agustus 2025.

Share:

More Posts

Kirim Pesan Anda