Alamat dan Kontak
- Alamat: Jl. Mgr. Sugiyopranoto, RT 001/RW 003, Kel. Tanalodu, Kec. Bajawa, Kab. Ngada – 86412
- ...
- ...
Jadwal Misa
- Harian: ....
- Jumat Pertama:
- Sabtu:
- Minggu:
Profil Singkat
Pada awalnya misi Katolik di Kepulauan Sunda Kecil, ditangani oleh Pastor-Pastor Jesuit yang kemudian diserahkan kepada para Pastor Serikat Sabda Allah (SVD) pada tahun 1912. Pada tanggal 16 September 1913, Cone Propaganda Fide (sebuah Kongergasi Vatikan untuk penyebaran Injil, didirikan oleh Paus Gregorius XV pada 6 Januari 1622), mengeluarkan sebuah Dekrit yang menetapkan kepulauan Sunda Kecil (Nusa Tenggara) menjadi satu Perfektur Apostolik dengan Perfek pertamanya adalah Pater Petrus Noyen, SVD. Sejak itu kepulauan sunda kecil terpisah dari Vikariat Apostolik Batavia dan menjadi bagian misi yang otonom. Mgr. Noyen menjadi Imam pada 12 Agustus 1893 dan menjadi misionaris di China pada tahun 1894. Setelah bekerja selama 15 tahun di sana, beliau kembali ke Belanda tahun 1909. Sementara itu pada tahun yang sama, terjalin komunikasi melalui surat menyurat antara Serikat Sabda Allah (SVD) dengan Vikaris Apostolik Batavia yang saat itu dipimpin oleh Mgr. Laypen S.J. Komunikasi tersebut berakhir dengan kesepakatan penyerahan misi kepulauan sunda kecil kepada Serikat Sabda Allah (SVD) tanpa pulau Flores. Baru pada tanggal 20 Juli 1914 pulau Flores juga diserahkan urusannya ke SVD. Prefek Noyen akhirnya juga membawahi pulau ini sebagai bagian dari Prefektur Apostolik Kepulauan Sunda Kecil. Pada tahun 1914 pecah Perang Dunia I. Para Imam yang telah ditunjuk untuk bekerja di Prefektur Kepulauan Sunda Kecil tidak bisa datang dari Eropa. Karena itu Prefek Noyen mengajukan permohonan kepada Serikat Yesus Provinsi Belanda dan di setujui agar para Imam Serikat Yesus tetap bekerja dalam wilayah prefekturnya. Para Imam Yesuit di Pulau Flores dibebaskan dari Vikariat Batavia dan mereka tetap bekerja di Flores sampai tenaga para Imam SVD yang bekerja di Flores telah mencukupi kebutuhan. Setelah perang Dunia I tahun 1918, maka baru tercatat pada tahun 1920 misionaris Yesuit yang terakhir tinggalkan pulau Flores yaitu Pater Tiseldijk S.J dari stasi Koting Maumere.
Usaha pertama oleh Mgr. Noyen ialah mengelilingi pulau Flores untuk berbicara dengan para Imam S.J serta menyelidiki tempat-tempat yang tampan untuk dapat dijadikan pusat-pusat misi di Flores sebagai tempat tinggal bagi Prefektur Apostolik. Prefek Noyen memilih Ndona, dekat Ende untuk menjadi tempat tinggal Uskup. Untuk pedalaman Ende/Lio dipilihlah Jopu menjadi pusat kegiatan misionaris. Di sana ditempatkan beberapa misionaris sebagai satu komunitas dan dari sana mereka dapat pergi menjelajahi seluruh wilayah Lio. Ndona sendiri selain pusat keuskupan juga menjadi pusat misionaris untuk wilayah Ende. Untuk wilayah Ngada, Prefek Noyen melakukan kunjungan pertamanya ke Bajawa tanggal 19 Oktober 1915 untuk membaptiskan 28 orang anak sekolah menjadi penganut Katolik pertama sekaligus melihat dari dekat Sekolah Rakyat pertama yang dibuka tahun 1912. Keesokan harinya beliau kembali ke Ende melalui Todabelu (Mataloko), Boawae, Raja dan Kotakeo untuk menyaksikan dari dekat sekolah rakyat yang dibuka tahun 1913. Pada tahun 1920 Prefek Noyen bersama seorang Bruder pergi memeriksa tempat yang bernama Todabelu. Tempat itu dijadikan pusat kegiatan misionaris untuk wilayah Ngada. (Todabelu merupakan duplikasi gymnasium Seminari di Eropa). Pada tanggal 28 April 1920 Pater Noyen didampingi Pater J. de Lange SVD dan Pater Yosef Ettel SVD kembali mengunjungi Bajawa melalui Aimere dan Ende dengan kapal KPM. Pada tanggal 9 Mei 1920 sebelum Pentakosta ada perayaan Komuni Pertama dan Krisma yang sebelumnya juga dilakukan permandian bagi 30 anak. (Sekilas peristiwa yang ditulis oleh Pater Josef Ettel SVD) “Dari dekat dan jauh semua anak sekolah berdatangan bersama guru mereka dan Bajawa penuh dengan kuda dan upacara berlangsung dengan gemilang dan penuh sukacita. Putra sulung Hamilton (Gezaaghebber Onder Afdeling Ngada) bersama sang Ayah akhirnya sama-sama menerima Sakramen Krisma, suatu hal yang memberi kesan yang mendalam bagi umat Katolik saat itu. Di halaman Istana Gezaaghebber diselenggarakan suatu jamuan pesta dimana semua kepala kampung di undang.
Dari peristiwa tersebut serta dengan berbagai pertimbangan antara lain perkembangan jumlah umat katolik yang semakin pesat, maka pada tahun 1921 Bajawa juga ditentukan sebagai pusat kegiatan misionaris. Tepatnya pada tanggal 11 Oktober 1921 Bajawa ditetapkan sebagai sebuah paroki dengan nama “Mater Boni Consilii Bajawa”. Dan yang menjadi Pastor Paroki I adalah Pater Gerardus Schorlemer SVD, dan Orang Muda yg menarik Lonceng Gereja pertama saat itu adalah Bapak H. Nay Nawa.
Pada tanggal 19 Juni 1928 muncul sebuah surat resmi dari Kantor Pemerintahan Swapraja (Van Inland Zelfbestuur) yang ditandatangani oleh Bapa Pea Mole selaku Bestuurder (Kepala Pemerintahan/Raja) yang menyerahkan sebidang tanah untuk membangun gereja besar, Pastoran serta Bangunan lain untuk kebutuhan pengembangan Paroki selanjutnya.
Dalam bulan Oktober 1928 pembangunan gedung gereja dimulai, dan dipimpin oleh Bruder Fransiskus SVD. Selain para tukang bangunan terlatih dan terdidik secara khusus, pembangunan gedung gereja tersebut melibatkan seluruh umat Dewasa, Pemuda juga anak-anak secara bergotong-royong. Karena saat itu belum memiliki kendaraan, maka bahan lokal seperti batu, pasir dan air serta bahan non lokal semen, besi, kayu jati, seng semuanya dipikul oleh umat dari lokasi sampai ke gereja. Bahan non lokal dipikul dari kapal KPM yang berlabuh di teluk Aimere dan diangkut oleh umat ke Bajawa. Umat yang memikul bahan-bahan tersebut berasal dari seluruh wilayah Paroki Bajawa yang meliputi wilayah Pemerintahan Swapraja (Van Inland Zelfbestuur) Bajawa dan sekitarnya.
Bangunan Gereja yang bercorak GOTIK tersebut selesai dibangun dan diresmikan melalui Ekaristi pemberkatan yang sangat meriah oleh Vikaris Apostolik Sunda Kecil Mgr. Arnoldus Verstraelen SVD pada tanggal 30 Mei 1930. Selanjutnya pastoran MBC dibangun pada 14 April 1937 yang dipimpin oleh Bruder Coleman, SVD saat ini telah dijadikan sebagai Rumah Kevikepan Bajawa.
Sejak awal pendirian hingga saat ini secara bergantian Para Imam baik dari Serikat Sabda Allah maupun Imam-imam Diosesan terus bergantian dan bersama umat menjadi pelayan di Paroki MBC ini. Paroki MBC terus tumbuh menjadi paroki yang mandiri dan mampu melalui serta melewati ruang waktu yang panjang dan penuh dinamika serta gejolak seiring perkembangan zaman yang dinamis. Saat ini Paroki MBC telah berumur 102 tahun. Dalam usia yang telah melewati 1 abad ini, Paroki ini terus berbenah dan berikhtiar untuk selalu menempatkan diri sebagai Wajah Allah yang kelihatan di dunia ini. Untuk diketahui bersama dari Paroki ini juga telah melahirkan Paroki – Paroki baru yakni Paroki Maria Ratu Semesta Alam Langa, Paroki St. Yoseph Bajawa dan Paroki St. Longginus Wolowio. Tercatat juga dalam sejarah paroki ini, pada Tahun 2007 dimulai pembangunan gedung pastoran yang akhirnya diresmikan pada tahun 2011 oleh YM Uskup Agung Ende Mgr. Vinsentius Sensi Potokota.
Selanjutnya, pada tahun 2012 Pastor Paroki bersama umat dalam pleno paroki, memutuskan untuk merehabilitasi gedung gereja yang terlihat kuno dan kusam yang tidak lagi terlihat bersesuaian secara estetika berada di samping pastoran yang indah dan megah. Dasar pemikiran lain yang dikemukakan umat saat itu adalah gedung gereja ini adalah karya besar para generasi pendahulu melalui pengorbanan, keringat, darah dan air mata yang luar biasa besar dalam kondisi yang serba sulit waktu itu. Benarkah kita tidak memiliki hati untuk sekedar merenovasi dan mempercantik gedung gereja tua yang antik ini? Maka melalui berbagai proses dan dinamika yang cukup berarti, renovasi gedung Gereja MBC akhirnya selesai dan diresmikan oleh YM Uskup Agung Ende pada Tahun 2016.