Mgr. Arnoldus Verstraelen, SVD (1922-1932)
Status Perfektur Apostolik Kepulauan Sunda
Kecil ditingkatkan pada tanggal 14 Maret 1922 menjadi Vikariat Apostolik
Kepulauan Sunda Kecil oleh Gereja Katolik Roma dengan Ende menjadi pusat untuk
seluruh anggota Serikat Sabda Allah yang bekerja di Kepulauan Sunda Kecil pada
tahun 1922 dan Mgr. Arnoldus Vertraelen, SVD adalah Vikaris Apostolik Pertama.
Sebagai Vikaris Apostolik Pertama,
Mgr. Arnoldus Verstraelen, SVD melanjutkan dan menyempurnakan karya
pendahulunya, dengan membangun stasi-stasi yang baru dan strategis di seluruh
tanah misi. Karena itu demi masa depan Gereja Flores, Beliau membeli tanah
untuk stasi, kebun kelapa, kopi seperti tanah misi Maumere, Mataloko, Bajawa,
Ende, Nangahale, Piangwulu, dll. Sehubungan dengan itu, Beliau meningkatkan wilayah
Vikariat ke dalam Dekenat Maumere, Dekenat Ende, dan Dekenat Ngada, berikut
sejumlah tugas dan wewenangnya.
Pada masanya, terjadi peningkatan
dalam bidang pendidikan antara lain dengan mendirikan Schakelschool bahasa
Belanda dan sekolah-sekolah kejuruan untuk putra dan putri. Membuka Seminari
Menengah di Sikka tahun 1925, kemudian pindah ke Mataloko tahun 1929. Beliau
juga membangun Sekolah Pertukangan Ende dan Percetakan Arnoldus yang diserahkan
kepada Serikat Sabda Allah untuk mengurusnya.
Perhatian yang besar terhadap hidup
dan kebutuhan para misionaris seperti kesehatan, perumahan, makanan dengan
mendatangkan bruder dan suster untuk mendukung kehidupan para misionaris dan
mengusahakan pembangunan rumah sakit Lela sejak tahun 1927.
Selain itu, pada masa Beliau para Pastor
ditugaskan untuk mengumpulkan para pemuda dan remaja untuk membentuk Kongregasi
Santa Maria. Beliau mulai mengumpulkan gadis-gadis calon suster pribumi sejak
tahun 1930 yang kemudian diteruskan oleh Mgr. H. Leven yang mendirikan Kongregasi
Pengikut Yesus pada tanggal 25 Maret 1935.
Mgr. Petrus Noyen, SVD (1913-1921)
Mgr. Petrus
Noyen, SVD, adalah Prefek Apostolik Pertama untuk wilayah Kepulauan Sunda
Kecil, beliau mengambil alih misi di
Kepulauan Sunda Kecil dari Para Imam Jesuit sejak tahun 1913 dan
meneruskan kebijakan pastoral Imam-iman jesuit sebelumnya yaitu membangun
sekolah-sekolah Katolik sebagai sarana penyebaran iman dan pendidikan umat.
Untuk itu: Beliau dalam kerjasamanya dengan Vikaris Apostolik Batavia Mgr.
Luypen, SJ dan Konggregasi Penyebaran Iman di Roma, berusaha untuk memperoleh
daerah misi bagi Serikat Sabda Allah (SVD) dengan menjelajahi seluruh daerah
Flores (dengan berjalan kaki, menunggang kuda, naik kapal motor) untuk
membangun pusat-pusat misi yang strategis di wilayah Ndona sebagai pusat
Keuskupan saat ini, kemudian di Jopu, di Todabelu Mataloko dan di daerah Bajawa
serta di daerah Ruteng.Beliau juga berusaha merebut masa dengan mengembangkan
Gereja secara ekstensif melalui katekese dan sarana pembabtisan umat sebanyak
mungkin baik dewasa maupun anak-anak. Dalam upaya pengembangan pendidikan katolik
di Flores salah satu hal terkuat untuk menunjang misi ini maka Beliau
mendirikan lembaga pendidikan guru di Ndona (1920) serta pengadaan Guru sebagai
rasul-rasul awam, pembantu terdekat para Imam di daerah-daerah yang masih
kafir.
Mgr. H. Leven, SVD (1932-1951)
Di bawah kegembalaannya, terjadi pertumbuhan umat sangat pesat; Benih yang ditanam
para pendahulunya mulai bertumbuh dan menghasilkan buah sekalipun pada saat
yang bersamaan Gereja juga menghadapi saat yang sangat sulit, yaitu situasi perang dunia kedua (Pada tahun 1941 para
misionaris berkebangsaan Jerman ditawan di Himalaya). Mei 1942 pasukan Jepang
mendarat di Flores. Juli 1942, 119 misionaris (imam, bruder, suster) ditawan
Jepang di pare-pare. Bencana ini telah diantisipasi dengan pendidikan para guru
dan guru agama yang memimpin umat selama misionaris ditawan.
Pada masa Beliau
ini wilayah Vikariat Apostolik dimekarkan :mejadi 4 wilayah gerejani yakni wilayah Gerejani Timor (1937), wilayah Gerejani Denpasar (1948), wilayah Gerejani Larantuka (1951), dan Wilayah
Gerejani Ruteng (1951).
Karena itu,
Beliau mulai sangat memperhatikan semua bidang karya pastoral, dan menatanya dengan cermat melalui sinode pastoral pada tahun 1935, yang kemudian dirumuskan dalam
buku Manuale Pastorale (1938) yang digunakan sebagai pedoman karya pastoral di
seluruh Vikariat Apostolik Kepulauan Sunda Kecil (1939).
Bertumbuhnya panggilan hidup membiara dan panggilan imam menjadikan beliau berusaha
membuka Seminari Tinggi dan
Novisiat SVD dan dalam masa kegembalaannya ini terjadi Pentahbisan imam pribumi yang pertama (1941) dan didirikannya Biara Suster Pribumi, yaitu Biara Susteran CIJ (1936).
Mgr. Paulus Yamaguchi
Mgr. Aloysius Oghihara
(30 Agustus 1943 - 30 Agustus 1945)
Dalam masa perang ini, wilayah Vikariat Apostolik Sunda Kecil untuk wilayah Ende Flores, mendapat utusan dari Pemerintah Jepang yakni Mgr. Paulus Yamaguchi yang datang bersama Romo Mikhael Iwanaga dan Mgr. Aloysius Oghihara yang datang bersama Romo Philipus Kyono. Mereka tiba di Pelabuhan Ende dengan pesawat Amfibi milik Pemeritah Jepang pada tanggal 30 Agustus 1943 dan dijemput oleh rombongan Mgr. H. Leven, Biarawan dan anak-anak sekolah serta umat, dan kemudian rombongan ini diterima secara liturgis di Gereja Katedral Ende.
- Mgr. Paulus Yamaguchi
- Beliau adalah Uskup Nagasaki, di Jepang Selatan suatu daerah yang merupakan pusat misi untuk seluruh Jepang; daerah umat katolik yang paling tua, yang telah mengenal Kristus sejak abad ke-17.
- Belajar Teologi di Roma. Dapat berbahasa Inggris, dan lebih suka berbahasa Perancis.
- Beliau datang ke Ende didampingi seorang imam projo dari Nagasaki sebagai sekretarisnya : Romo Mickael Iwanaga yang membaptis Mgr. Abdon Longinus da Cunha, Pr.
- Beliau lemah lembut, peramah dan sangat mudah bergaul.
- Diutus pemerintah Jepang ke Flores untuk menggantikan Mgr. H. Leven dan para misionaris yang masih ada di Flores. Atas usahanya yang luar biasa, Mgr. Leven dan para misionaris yang masih ada di Flores tidak jadi ditawan. Dan beliau sendiri bukan menggantinya melainkan membantu Mgr. Leven dan para misionaris selama masa perang yang sulit itu.
- Selain menggagalkan penawanan Mgr. Leven dan para misionaris, beliau sempat membantu pendidikan imam selama perang, baik seminari Menengah maupun Seminari Tinggi dan novisiat SVD.
- Membantu karya pastoral umat yang ditinggalkan para misionaris yang ditawan di Pare-Pare-Ujung Pandang.
- Melindungi para imam dan umat dari perlakukan sewenang-wenang selama perang berkecamuk.
- Meninggalkan Pulau Flores dari Maumere pada tanggal 30 Agustus 1945.
- Mgr. Aloysius Oghihara
- Beliau adalah Administrator Apostolik di Hirosima. Masuk Serikat Jesus, menyelesaikan studi teologi di Jerman. Menguasai bahasa Jerman. Pernah tinggal di Belanda selama 1 tahun.
- Dari Jepang ke Indonesia bersama admiral Tasuku Sato yang menjadi komandan kesatuan angkatan laut di Flores, singgah di Manado dan mereka menerimanya dengan sangat antusias.
- Membawa serta seorang imam pembantu Romo Philipus Kyono yang membaptis Rm. Philipus L. Riwu, Pr.Romo Philipus Kyono adalah imam projo dari Jepang Utara. Ia mengenal banyak imam-imam SVD berkebangsaan Jerman yang bekerja di prefektur Nigita, Jepang.
- Berwatak serius dan rasa kebangsaan yang tinggi. Bersama dan mendampingi Mgr. Yamaguchi membantu Mgr. Leven memimpin gereja Keuskupan Ende selama masa perang, dan bekerja bersama-sama dengan pastor yang masih ada melayani umat.
- Kembali ke Jepang lewat Maumere – Ujung Pandang tanggal 30 Agustus 1945.
Kedua Uskup bersama kedua Imam ini adalah Malaikat Pengawal yang melindungi gereja Flores selama perang.
Mgr. A. Thijssen, SVD (1951 - 1961)
Setelah melalui masa Perang, pada tanggal 8 Maret 1951; wilayah Vikariat Apostolik Isole Della Piccola Sonda atau juga disebut Isulae Sunda Minores: Vikariat Apostolik Kepulauan Sunda Kecil berubah nama menjadi Vikariat Apostolik Ende. Wilayah Vikariat Apostolik Ende, digembalakan oleh seorang Vikaris Apostolik yakni Mgr. A. Thijssen, SVD (1951-1961); pada saat ini jumlah umat semakin bertambah dan secara khusus mulai dibangunkannya stasi baru di daerah kabupaten Ngada dan Lio; untuk menghindari perbedaan fisik antar paroki maka masalah pembangunan gedung/fisik harus disidangkan dan disetujui uskup dan ada prioritas. Dalam masa kegembalaannya, dunia pendidikan tetap diyakini sebagai sarana utama pewartaan dan pendalaman iman, karena itu amat penting untuk ditingkatkan jumlah dan mutu sekolah katolik, yang pada akhirnya didirikannya pelbagai lembaga pendidikan seperti SGB, SGA, kursus B1, PGSLP, SMAK Syuradikara dan pada akhirnya didirikan pula Yayasan Persekolahan Katolik Vedapura dengan wilayah Sumba dipisahkan dari Ende (1959). Tidak hanya itu saja perhatian gereja juga terarah kepada Kongregasi Maria untuk bermacam-macam tingkat usia, pria dan wanita, sebagai sarana pembinaan kaum awam serta pendalaman iman umat. Selain itu pada masa Beliau, Gereja juga terlibat dalam Pengadaan sarana hubungan Laut seperti KM. St. Theresia, KM. Stella Maris, KM. Ratu Rosari, dan KM Ama, dll yang amat sangat membantu seluruh umat untuk menggunakan transportasi laut pada saat itu. Hal yang paling kuat dalam masa kegembalaan beliau adalah meletakkan dasar bagi pertumbuhan Gereja Lokal melalui pendidikan Para Calon imam diosesan dengan dimulainya Pembangunan Konvik Seminari Tinggi Diosesan di Ritapiret. Ketika pada tahun 1961, Hirarki Gereja terbentuk di Indonesia, maka beliau rela pindah dari Ende ke Larantuka dan Mgr. Gabriel Manek, SVD berpindah ke Ende untuk menjadi Uskup Agung Ende yang pertama dan sekaligus adalah seorang Uskup Pribumi. Suatu hasil gemilang dari karya para misionaris SVD adalah Lahirlah Gereja Lokal.
Mgr. Gabriel Manek, SVD (1961 - 1968)
Berdasarkan Acta Apostolicae Sedes LIII, Tahun
1961, Pagina 244 Tanggal 3 Januari 1961 yang dikeluarkan oleh Bapa Suci Paus
Yohanes XXIII, maka dua puluh vikariat Apostolik dan Tujuh Perfektur di seluruh
wilayah Nusantara diangkat ketingkat serta martabat Hirarki Keuskupan yang
terbagi atas Enam wilayah Propinsi Gerejawi yaitu Propinsi Gerejawi Pulau Jawa
(terbagi atas dua bagian), Propinsi Gerejawi Sumatera, Propinsi Gerejawi
Kalimantan, Propinsi Gerejawi Kepulauan Maluku, dan Propinsi Gerejawi Kepulauan
Flores.
Sejak penetapan
itu, Propinsi Gerejawi Kepulauan Flores terbagi atas Keuskupan Agung Ende dan
Keuskupan Sufragan yakni Keuskupan Larantuka, Keuskupan Ruteng, Keuskupan
Denpasar dan Keuskupan Maumere (pemekaran dari Keuskupan Agung Ende, pada
Tanggal 14 Desember 2005). Dengan statusnya sebagai Keuskupan Agung, maka
Keuskupan Agung Ende dilayani oleh seorang Uskup Agung sebagai ordinarisnya.
Dan Uskup Agung yang pertama adalah Mgr. Gabriel Manek, SVD (1961-1968) .
Beliau seorang pribumi yang sebelumnya menjadi Uskup Larantuka (1951-1961).
Beliau memulai
langkah awal yang berani untuk mengahadapi tantangan dalam usaha Indonesianisasi
di bidang personil dan berdiri di bidang materiil dengan mengendalikan bantuan
dari Eropa di satu pihak, dan membangun kesadaran umat akan tanggung jawab
keuangan untuk gereja di lain pihak.
Karena itu, sesudah jumlah umat bertambah
sangat pesat, maka tibalah saatnya mengusahakan sungguh-sungguh pendalaman iman
umat dan pendewasaan umat. Pembangunan fisik hendaknya dibangun dengan
pembangunan mental, spiritual. Pada masa Beliau ini, terdapat perhatian yang
amat serius kepada pendidikan calon-calon imam diosesasan, dan diberikan
kepercayaan kepada pemimpin umum pibumi yang pertama untuk kongregasi
Suster-Suster Pengikut Kristus (CIJ), serta peranan awam dalam tugas-tugas
penting Gerejani mulai mendapat tempatnya.
Mgr. Donatus Djagom, SVD (1969 - 1996)
Dalam kurun waktu 27 tahun masa kepemimpinan beliau terjadi perkembangan yang sangat pesat dalam segala bidang : ilmu pengetahuan, teknologi, komunikasi dan informasi, ekonomi, sosial politik, kesehatan, dan pendidikan dll; maka tidak terhindarkan bahwa Gereja harus menghadapi kenyataan ini. Karena itu dalam masa kegembalaannya mulai diadakan Tri-program Keuskupan yang kemudian menjadi Tri-Prioritas Pastoral Keuskupan dan melalui Musyawarah Pastoral Umat I, II, III, lahirlah Statuta Keuskupan, perangkat-perangkat Keuskupan untuk mendampingi Beliau dalam Pengembalaan Umat. Pusat Pastoral di bawah seorang Direktur untuk mengorganisir Seluruh Kegiatan Pastoral. Lebih lanjut, Program Keuskupan mulai menjadi lebih jelas dan terarah, dikarenakan Tri-Prioritas Pastoral menjadi sasaran reksa pastoral di Keuskupan Agung Ende, dan Perangkat dekenat ditingkatkan menjadi kevikepan dengan wewenang yang lebih besar; termasuk jugapemantapan perangkat pada tingkat keuskupan, kevikepan dan paroki serta diadakan Tim Pastoral Antar Paroki (TPAPT). Dalam kondisi ini juga, Para Awam menyadari hak, kewajiban dan tanggung jawabnya. Partisipasi umat dalam kehidupan menggereja semakin besar. Rasa persaudaraan kristiani bertumbuh subur di kalangan umat yang mencakupi tiga kabupaten dengan pelbagai lingkup budayanya. Penguatan Perangkat ini kemudian ditunjang dengan Sekretariat pastoral bersama keuskupan Provinsi Gerejawi Nusa Tenggara yang dibentuk untuk perencanaan dan karya pastoral antar keuskupan. Pada masa beliau panggilan imam dan hidup membiara sangat berkembang. Tarekat-tarekat dengan pelbagai macam profesi didatangkan. Peristiwa-peristiwa penting dalam masa jabatannya antara lain : Muspas I,II,III, perayaan Nasional Tahun Maria, kedatangan Paus Yohanes Paulus II.
Mgr. Abdon Longginus da Cunha, Pr (10 Juli 1996 - 6 April 2006)
Beliau melanjutkan karya pastoral yang telah dimulai oleh pendahulunya, Mgr Donatus Djagom, SVD yakni :
a. Kemandirian di bidang personalia, iman dan finansial
b. Melibatkan umat sejauh mungkin dalam karya pastoral melalui dan dalam Musyawarah Pastoral yang telah diselenggarakan mulai dari tingkat KUB, Paroki dan memuncak di tingkat Keuskupan sebanyak tiga kali.
Selain itu dalam masa kegembalaannya Beliau juga menyelenggarakan Musyawarah khusus pendidikan katolik KAE yang dikenal dengan Musdikat (1997) untuk mengkaji pelbagai permasalahan, menentukan kebijakan-kebijakan serta langkah-langkah operasional untuk mewujudkan eksistensi pendidikan dan sekolah-sekolah katolik di Keuskupan Agung Ende. Wujud konkrit dari musyawarah ini adalah pembentukan dana solidaritas pendidikan katolik, yang dikelola oleh badan khusus yakni Badan Pengelola Dana Solidaritas Pendidikan Katolik KAE. (BPDSPK – KAE)
Beliau juga mewajibkan setiap paroki menyusun program pastoral Rencana Anggaran Pendapatan/Belanja Paroki setiap tahun yang dilaksanakan sejak hari Rabu Abu dan bisa dievaluasi tahun berikutnya. Mendorong setiap Paroki membuat laporan keuangan Paroki setiap bulan ke Keuskupan dengan format yang sama; dan mendirikan Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pastoral (Litbang Puspas) pada tahun 1997. Lembaga ini bertugas meneliti dan mengkaji pelbagai karya pastoral didasarkan pada hasil survey.
Dalam masa kegembalaannya juga, beliau menyelenggarakan Muspas IV KAE pada bulan Juli 2000 di Maumere dan Muspas V pada 2005 di Mataloko yang menyoroti keprihatinan sosial dalam masyarakat, kelompok-kelompok dan lingkungan hidup. Musyawarah ini menghasilkan arah dasar dan strategi pastoral baru yaitu pembebasan dan pemberdayaan KUB dan Fungsionaris Pastoral. Komunitas Umat Basis menjadi fokus dan lokus serta subyek pastoral, serta mendorong dan memfungsikan anggota Kuria KAE, DI, DPK, DK, agar melaksanakan tugasnya sesuai fungsinya dalam KHK untuk membantu Uskup khusus sebagai Vikjen, Direktur Puspas, Tribunal dan Ekonom.
Langkah konkrit yang menjadi fokus perhatian Beliau adalah mendorong dan menggiatkan swadaya umat untuk pembiayaan kegiatan-kegiatan pastoral sehingga umat semakin terlibat dan bertanggungjawab dalam pelbagai kegiatan pastoral. Memulai pengumpulan dana abadi KAE pada setiap tanggal 10 Juli sebagai sumber pembiayaan kegiatan pastoral Keuskupan. Selain itu juga mendorong dan mengembangkan KUB sebagai pusat kegiatan pastoral dengan mengalihkan tanggungjawab pastoral komisi/lembaga kepada Tim Pastoral Kevikepan dan Dewan Pastoral Paroki. Meningkatkan peran awam dalam pelbagai bidang karya pastoral dari tingkat Keuskupan hingga KUB.
Selain itu, Beliau juga Mendirikan “Crisis Center” KAE untuk menampung, menganalisa dan menjawabi pelbagai masalah actual secara cepat, tepat dan kena sasar. Mendirikan Seminari Menengah Pertama : St. Maria Bunda segala Bangsa di Maumere 27 Oktober 2001 khusus untuk menjawabi kebutuhan panggilan imam. Mendorong pemekaran paroki-paroki yang besar demi pendekatan pelayanan pastoral kepada umat. Menghimbau Paroki agar menulis kronik, dokumentasi dan sejarah paroki.Mengangkat tiga imam menjadi Moderator Organisasi Rohani di setiap Kevikepan untuk memperhatikan keberadaan organisasi rohani tradisional di paroki-paroki dan memantau pertumbuhan organisasi rohani yang baru.Membenahi PT, Yayasan-yayasan Keuskupan, Unit-unit Karya milik KAE dengan sidang-sidang tahunan yang dimasukkan dalam jadual kegiatan Uskup yang padat sepanjang tahun.
Hal kuat lainnya dalam masa kegembalaannya adalah Mengadakan sensus umat KAE untuk pertama kalinya pada tahun 2003 guna mengetahui jumlah dan keadaan kehidupan umat secara menyeluruh. Dengan demikian karya pastoral sungguh berpijak pada realitas kehidupan umat yang konkrit; serta mengusulkan pemekaran Keuskupan Agung Ende mejadi tiga yakni peningkatan Kevikepan Maumere dan Bajawa menjadi keuskupan. Roma/Vatikan menyetujui usul pemekaran dan dimulai dengan Keuskupan Maumere. Mgr. Vincentius Sensi Potokota, Pr terpilih menjadi Uskup pertama Keuskupan Maumere yang diumumkan secara resmi di Roma pada tanggal 14 Desember 2005.
Mgr. Vincentius Sensi Potokota, Pr (2007 - ...., )
Pada tahun 2007, Takhta Apostolik menunjuk Romo
Vincentius Sensi Potokota menjadi Uskup Agung Ende. Beliau meninggalkan
Keuskupan Maumere yang baru setahun dipimpinnya dan harus mengambil alih Takha
Uskup Agung Ende. Yang lowong selama setahun.
Beliau
pertama-tama meneruskan program pastoral dari para pendahulunya, terutama
berkenaan dengan pelaksanaan Musyawarah Pastoral dan Implementasinya dalam
karya pastoral. Beliau, menyelenggarakan Muspas dari Muspas VI sampai dengan
Muspas VIII.
Dengan
berpatok pada hasil-hasil Musyawarah Pastoral dan Sidang Lintas Perangkat
Pastoral, Beliau bertekad untuk menata kembali penyelenggaraan pastoral KAE
dengan:
a. Melibatkan sejumlah kaum awam dalam
perangkat pastoral yang diikuti dengan penguatan kapasitas para fungsionaris
pastoral.
b. Menempatkan KUB sebagai fokus dan Lokus
serta Subjek karya pastoral KAE sehingga Gereja
Keuskupan Agung Ende menjadi persekutuan komunitas umat basis yang Injili,
Mandiri, Solider dan Misioner.
c. Memberi perhatian pendampingan kepada
kelompok strategis : anak, remaja, pasutri pra-nikah dan pasca-nikah dalam
sejumlah program kegiatan karya pastoral.
d. Merancang desain pendampingan keluarga
mellalui sejumlah modul, model, dan gerakan.
e. Mendorong pembaharuan-pembaharuan
Struktur dan Penyelenggaraan karya pastoral berdasarkan sistem dan mekanisme
kerja yang baik; dengan optimalisasi peran para penanggungjawab untuk tugas
pembenahan Tata Kelola, Statuta, dan sejumlah pedoman yang akan menjadi bentuk
penguatan manajemen pastoral di dalam wilayah gerejani Keuskupan Agung Ende.
Bersama
Pusat Pastoral, memikirkan bentuk pelayanan pastoral gereja KAE dalam masa
pandemi covid-19, dan era new normal melalui sejumlah instruksi pastoral yang
diberikan kepada umat beriman, menyelenggarakan Sidang Lintas Perangkat
Istimewah yang disebut Pra-Muspas., mendorong agar dalam masa sulit ini, gereja
KAE bisa mengevaluasi secara komprehensif seluruh karya pastoralnya sebelum
penyelenggaraan Muspas VIII, yang pada akhirnya dilaksanakan dalam protokol
kesehatan yang ketat.
Penataan
status iuridis struktur internal Gereja KAE dan bagian-bagiannya, yang kurang
dipahami sesuai dengan maksudnya sebagai suatu Badan Hukum Keagamaan yang
diakui oleh Negara, menjadi perhatian Beliau dalam menjawabi kebutuhan Gereja
dalam tata dunia. Penataan ini diwujudnyatakan dalam penguatan (deklarasi)
Gereja KAE dan bagian-bagiannya melalui sejumlah Akta Notaris baik untuk
Anggaran Dasarnya maupun Pernyataan Pendiriannya.
Berdasarkan
amanat Muspas VIII, Beliau menghendaki agar Gereja KAE segera memiliki Statuta
KAE sebagai peraturan-peraturan yang ditetapkan
berdasarkan norma hukum untuk kelompok orang (universitas personarum) atau kelompok benda (universitas rerum). Beliau juga membentuk sejumlah Kuasi Paroki yang membantu pendekatan pelayanan bagi
umat beriman dan membentuk Kevikepan Mbay sebagai pemekaran dari
Kevikepan Bajawa.
Beberapa persitiwa penting lain adalah
Penyelenggaraan Tahun Kerahiman Ilahi sekeuskupan, bersama Presiden Republik
Indonesia merayakan Hari Lahir Pancasila di kota Ende, dan sejumlah MOU dan
Perjanjian Kerjasama dengan pihak pemerintah.