Keuskupan Agung Ende sebagai bagian dari Gereja universal adalah suatu badan hukum (persona moralis) yang menurut hukumnya sendiri (sui iuris) didirikan atas dasar penetapan ilahi (Kan. 113 §1; Kan. 373). Sebagai Gereja partikular, Keuskupan Agung Ende digembalakan oleh Uskup Agung Ende dalam kerja samanya bersama para imam, dengan mengikuti Yesus Kristus sebagai teladan utama kegembalaan. Kerja sama Uskup bersama para imam ini menghimpun kawanan umat beriman dalam terang Injil dan Ekaristi dalam karya Gereja Kristus yang satu, kudus, katolik, dan apostolik (bdk. Kan. 369). Cikal bakal Keuskupan Agung Ende berawal dari terbentuk-nya Prefektur Apostolik Kepulauan Sunda Kecil (Insulae Sunda Minores) pada tanggal 16 September 1913; pemekaran dari Vikariat Apostolik Batavia yang berpusat di Ende, Flores. Karya misi Gereja di wilayah ini dipercayakan kepada Serikat Sabda Allah (SVD) untuk menggantikan Serikat Yesuit (SJ). Pada saat itu Mgr. Petrus Noyen, SVD diangkat sebagai Prefek Apostolik yang memimpin wilayah Prefektur Apostolik dari tahun 1913 sampai tahun 1921.
Pada tanggal 14 Maret 1922, wilayah Prefektur Apostolik ini ditingkatkan menjadi Vikariat Apostolik Kepulauan Sunda Kecil dan Mgr. Arnoldus Verstraelen, SVD diangkat menjadi Vikaris Apostolik pertama (1922–1932). Mgr. Arnoldus Vestraelen meninggal dunia karena kecelakaan kendaraan di Boalobo. Karena itu, pada tahun 1933, Mgr. Henricus Leven, SVD diangkat menjadi Vikaris Apostolik yang memimpin Vikariat ini sampai tahun 1951. Sejak tahun 1936, Vikariat Kepulauan Sunda Kecil mengalami pemekaran wilayah, yakni (1) Vikariat Apostolik Timor Olandese atau Timor Belanda (1936), (2) Prefektur Apostolik Bali–Lombok (1950), (3) Vikariat Apostolik Larantuka (1951), (4) Vikariat Apostolik Ruteng (1951), (5) Vikariat Apostolik Ende (1951), dan (6) Prefektur Apostolik Sumba–Sumbawa (1959).
Vikariat Apostolik Ende kemudian digembalakan oleh Mgr. Antonius Thijssen, SVD sampai terbentuknya Keuskupan Agung Ende (1961) setelah Paus Yohanes XXIII melalui Konstitusi Apostolik Quod Christus menetapkan pembentukan Hierarki Gereja Katolik di Indonesia pada tanggal 3 Januari 1961.
Dengan penetapan ini, Gereja Katolik di Indonesia yang sebelumnya merupakan Gereja misi (dua puluh Vikariat Apostolik dan tujuh Prefektur Apostolik) ditingkatkan statusnya menjadi Gereja lokal/keuskupan yang terbagi atas 6 wilayah provinsi gerejawi dengan 6 Keuskupan Agung dan 21 keuskupan su¬fragan. Salah satunya adalah Provinsi Gerejawi Ende dengan Keuskup¬an Agung Ende sebagai Keuskupan Metro¬politan yang mencakup empat keuskupan sufragan, yaitu Larantuka, Ruteng, Denpasar, dan Atambua; menyusul Keuskupan Kupang (1967) sebagai pemekaran dari Keuskupan Atambua, Keuskupan Weetebula (1969), dan Keuskupan Maumere (14 Desember 2005) sebagai pemekaran dari Keuskupan Agung Ende.
Dengan ditingkatkannya Keuskupan Kupang menjadi Keuskupan Agung (1989), maka dibentuklah Provinsi Gerejawi Kupang yang mencakup dua keuskupan sufragan yaitu Keuskupan Atambua dan Keuskupan Weetabula. Kedua Provinsi (Ende dan Kupang) membentuk satu regio gerejawi yang disebut Regio Gerejawi Nusa Tenggara sebagai tanda kesetiaan pada sejarah da-ri Prefektur Apostolik dan Vikariat Apostolik Kepulauan Sunda Kecil.
Karya pastoral Gereja Keuskupan Agung Ende mulai diemban oleh Mgr. Gabriel Manek, SVD yang diangkat sebagai uskup pertama Keuskupan Agung Ende (1961–1969). Tahta Suci memutuskan untuk mengangkat seorang imam pribumi menjadi Uskup Agung. Pada tahun 1969, seorang imam pribumi lagi, yakni RP. Donatus Djagom, SVD diangkat menjadi Uskup Agung Ende (1969–1996) menggantikan Mgr. Gabriel Manek, SVD yang melepaskan jabatan karena alasan kesehatan.
Dalam masa jabatannya, Mgr. Donatus Djagom, SVD melahirkan program kemandirian Gereja Keuskupan Agung Ende dalam bidang iman, personalia, keuangan. Sejak tahun 1987, dengan dukungan kuat dari Pusat Pastoral KAE, beliau menyelenggarakan Musyawarah Pastoral I, diikuti Musyawarah Pastoral II (1988), dan Musyawarah Pastoral III (1993) yang melahirkan upaya-upaya pembaruan karya pastoral Gereja KAE.
Pada akhir masa jabatannya, beliau memproses penggantinya sampai diangkatnya seorang imam diosesan, dalam diri RD. Abdon Longinus da Cunha, menjadi Uskup Agung Ende (1996). Dengan ini, Mgr. Donatus Djagom, SVD memberi kepercayaan yang tinggi kepada imamnya sendiri sebagai pengganti Uskup Agung Ende. Hal itu menjadi bukti semakin kuatnya kemandirian Gereja KAE di bidang personalia. Kemandirian ini seirama dengan keinginan kuat Tahta Apostolik bahwa pada akhirnya, Gereja lokal mesti digembalakan oleh seorang uskup yang berasal dari kalangan imam diosesan.
Mgr. Abdon Longinus da Cunha menggembalakan umat KAE selama 10 tahun (1996–2006). Tugas jabatannya terhenti oleh kematian karena penyakit yang dideritanya. Selain melanjutkan program pastoral pendahulunya, masa jabatan yang singkat dari Mgr. Abdon Longinus da Cunha, diisi dengan terobosan-terobosan pastoral untuk memperkuat kemandirian Gereja KAE. Melalui Musyawarah Pastoral KAE, beliau menetapkan Arah Dasar (Ardas) Pastoral KAE, yaitu pembebasan dan pemberdayaan komunitas umat basis hingga menjadi komunitas perjuangan. Partisi¬pasi umat KAE semakin meningkat dalam bidang personalia dan finansial.
Mgr. Abdon Longinus da Cunha juga memperhatikan secara khusus, karya Pendidikan Katolik dengan memprakarsai dan menyelenggarakan Musyawarah Pendidikan Katolik (Musdikat) pada tahun 1997. Sebelum meninggal dunia, beliau memproses pemekaran Keuskupan Agung Ende (Keuskupan Maumere dan Bajawa). Pada tanggal 14 Desember 2005, Tahta Apostolik menetapkan pembentukan Keuskupan Maumere dan mengangkat seorang imam diosesan KAE, RD. Vincentius Sensi Potokota menjadi Uskup Keuskupan Maumere.
Meninggalnya Mgr. Abdon Longinus dan Cunha (2006) ber-dampak pada lowongnya Tahta Uskup Agung Ende. Selama satu tahun, Keuskupan Agung Ende dipimpin oleh seorang Adminis-trator Diosesan, RP. Yosef Seran, SVD (2006–2007), yang sebelumnya bertugas sebagai Vikaris Jenderal KAE. Pada tahun 2007, Tahta Apostolik menunjuk Mgr. Vincentius Sensi Potokota menjadi Uskup Agung Ende. Dengan ini, beliau harus meninggalkan Keuskupan Maumere yang baru setahun dipimpinnya dan mengambil alih Tahta Uskup Agung Ende.
Dalam kepemimpinannya yang sudah berjalan 14 tahun, Mgr. Vincentius Sensi Potokota, pertama-tama meneruskan program pastoral dari para pendahulunya, terutama berkenaan dengan pelaksanaan Musyawarah Pastoral dan implementasinya dalam karya pastoral. Dengan berpatok pada hasil-hasil Musyawarah Pastoral dan Sidang Lintas Perangkat Pastoral, beliau menata kembali penyelenggaraan karya pastoral KAE. Untuk maksud itu, beliau mendayagunakan semua sumber daya yang dimiliki oleh Gereja KAE sebagai persekutuan komunitas umat basis yang injili, mandiri, solider, dan misioner.
Selain itu, penataan status yuridis struktur internal Gereja KAE dan bagian-bagiannya yang kurang dipahami sesuai dengan maksudnya sebagai suatu Lembaga Badan Hukum Keagamaan Katolik yang diakui oleh Negara Republik Indonesia, menjadi perhatian beliau dalam menjawabi kebutuhan Gereja KAE di dalam tata dunia. Penataan ini, kemudian diwujudnyatakan dalam penguatan (deklarasi) Gereja KAE dan bagian-bagiannya sebagai Lembaga Badan Hukum Keagamaan Katolik melalui sejumlah akta notaris, baik untuk Anggaran Dasar maupun Pernyataan Pendiriannya.
Beliau juga mengajukan permohonan kepada Kementerian Agama Republik Indonesia tentang penetapan subjek hukum dalam Gereja KAE sebagai Lembaga Badan Hukum Keagamaan Ka-tolik yang didasarkan pada Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik, Nomor 25 Tahun 2016. Pengajuan permohonan ini dijawab oleh Kementerian Agama melalui Surat Keputusan Menteri Agama, Nomor 498–577, Tanggal 11 Oktober 2021 Tentang Penetapan Paroki, Seminari, dan Rumah Bina menjadi Lembaga Badan Hukum Keagamaan Katolik. Penataan yuridis struktur internal Gereja KAE sebagai Lembaga Badan Hukum Keagamaan Katolik ini, tidak saja membantu Gereja KAE untuk diakui oleh Negara. Hal itu sekaligus membantu Gereja KAE menyelenggarakan karya pastoral yang semakin baik dan terstruktur dengan sistem dan mekanisme kerja yang khas.
Berkaitan dengan penyelenggaraan karya pastoral ini, beliau menghendaki agar Gereja KAE memiliki Statuta Pengurus Gereja dan Dana Papa Miskin KAE (Selanjutnya disebut Statuta PGDPM KAE) sebagai peraturan-peraturan yang ditetapkan sesuai dengan norma hukum untuk kelompok orang (universitas personarum) dan kelompok benda (universitas rerum). Di dalamnya, dirumuskan tentang tujuan, penataan, kepemimpinan, dan tata kerjanya (sistem dan mekanisme). Statuta PGDPM KAE ini menjadi pedoman dasar bagi perumusan pedoman-pedoman turunan, yang berkenaan dengan karya-karya perutusan Gereja KAE di bidang kesalehan, kerasulan, dan karitatif, baik spiritual maupun duniawi.